Sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum di Indonesia itu tidak adil. Meskipun tidak semuanya, namun mayoritas bisa dikatakan seperti itu. Banyak pengalaman perih berurusan dengan hukum yang dialami oleh saudara-saudara kita. Meskipun tidak adil, banyak dari kasus tersebut masih rasional dan tidak mengusik logika kita. Jika kita seorang pakar hukum yang sangat ahli, mungkin baru bisa mencari dimana tidak adilnya.
Namun ada beberapa putusan yang tampaknya terlalu dipaksakan dan tidak sejalan dengan logika berpikir kita yang normal. Dan yang lebih aneh lagi adalah putusan tersebut ada pada kasus besar yang disorot oleh publik. Dibawah ini adalah tiga diantaranya:
Kasus Merpati Nusantara Airlines (MNA) dengan direktur utamanya Hotasi Nababan kami jadikan sebagai pembuka di putusan pengadilan yang aneh kali ini. Kasus ini bermula dengan wan prestasi (pemutusan sepihak) TALG kepada MNA mengenai sewa menyewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500. TALG yang sudah menerima deposit dari MNA tidak bisa memenuhi kewajibannya menyediakan pesawat yang dimaksud. TALG juga tidak mengembalikan uang deposit.
Akhirnya setelah tekanan publik yang luar biasa, hakim memutuskan Hotasi Nababan bebas dari segala tuntutan. Namun kasus ini belum berakhir karena jaksa masih mengajukan banding. [Sumber: Change.Org]
Kasus aneh lainnya terjadi pada Telkomsel. Operator merah putih terbesar di Indonesia ini dituntut pailit “hanya” karena hutang sebesar 5,3 milyar. Tuntutan diajukan oleh PT Prima Jaya Informatika, mantan rekanan Telkomsel. PT PJI menganggap Telkomsel wan prestasi atas perjanjian mereka dan meninggalkan hutang sebesar 5,3 milyar dari voucher dan perdana khusus olahraga yang diberi nama Perdana Prima.
Yang lebih janggal adalah keputusan tentang fee kurator dikeluarkan oleh hakim yang sama dengan yang memutus pailit Telkomsel. Putusan ini janggal karena kondisi pailit Telkomsel tidak terjadi dan penetapan fee kurator menyalahi ketentuan Kementerian Hukum dan HAM No. 1/2013. Selain itu penetapan fee kurator sebesar 293,616 milyar (dibagi dua antara PJI dan Telkomsel) sungguh tidak masuk akal. [Majalah ICT]
Bermula di tahun 2007, Indosat mendapatkan jatah frekuensi 3G bersama XL dan Telkomsel. Indosat lalu menggunakan frekuensi ini bersama-sama dengan anak usahanya, IM2 untuk sama-sama menyediakan layanan broadband. Indosat dengan layanan 3G end user (IM3 dan Mentari) sedangkan IM2 menggunakannya untuk layanan Internet IM2 Broom yang menumpang di BTS Indosat.
Kasus ini cukup tidak masuk akal jika dilihat dengan analogi sederhana. Anggap saja frekuensi 3G adalah listrik, Indosat sebagai pemilik rumah dan PLN sebagai pemerintah. Seorang pemilik rumah yang mendapatkan jatah listrik dari PLN, tentu saja boleh memanfaatkan listrik itu sesuai ketentuan dan boleh bekerjasama dengan orang lain dalam penggunaannya, misalnya seorang penyewa rumah. Selama pemilik rumah membayar biaya listrik ke PLN, maka PLN tidak dirugikan. Sangat tidak masuk akal jika pemilik rumah dan penyewa rumah membayar biaya listrik yang sama.
Sama halnya dengan masalah frekuensi 3G antara Indosat dan IM2 ini. Selama Indosat sudah membayar BHP frekuensi kepada pemerintah, maka IM2 tidak perlu membayar lagi. Selain itu penggunaan frekuensi tersebut adalah atas perjanjian yang sah secara hukum, bukan tanpa ijin. Sangat tidak masuk akal jika IM2 dianggap merugikan negara. Frekuensi tersebut sudah dibayar Indosat, kerugian negara yang mana yang dibicarakan?
Kejanggalan yang lainnya adalah “ngotot”-nya kejaksaan mengurus kasus ini, padahal dasar hukum yang digunakan tidak ada yang memadai. Diantaranya sebagai berikut:
Kasus ini menjerat lima tersangka yakni Direktur Utama PT Indosat periode 2007-2009 Johnny Swandi Sjam, Direktur Utama PT Indosat periode 2009-2012 Harry Sasongko Tirtotjondro, dan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) periode 2006-2012, Indar Atmanto. Dua tersangka lainnya adalah korporasi yakni PT Indosat dan PT IM2.
Saat ini mantan direktur IM2 periode 2006-2012 divonis 4 tahun penjara atas dakwaan penyalahgunaan wewenang seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 ayat 1 dan 3 Undang-undang Nomor 31 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Ini adalah tambahan kejanggalan, dimana kerugian negara belum dibuktikan, namun sudah ada yang divonis korupsi. [VivaNews]
Jika kasus ini tidak dihentikan, maka akan terjadi masalah di dunia internet kita. Hal ini dikarenakan banyak Penyedia Jasa Internet yang menggunakan skema serupa. Seperti misalnya pengguna Speedy yang bisa menggunakan internet menggunakan jaringan Telkomsel Flash atau pengguna Centrin yang bisa berinternet menggunakan jaringan XL. Semua memiliki skema kerjasama yang tidak berbeda. Mungkinkah nanti mereka dijerat kasus yang sama dengan Indosat dan IM2? Jika ya, maka kehancuran industri telekomunikasi ada di depan mata.
Disclaimer: Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan Hanya Lewat. Redaksi berhak menyunting atau menghapus kata-kata yang berbau narsisme, promosi, spam, pelecehan, intimidasi dan kebencian terhadap suatu golongan.
Anda harus masuk untuk berpendapat.