Internet yang lambat dan mahal di Indonesia adalah sebuah fakta. Seringkali ada internet yang murah namun kualitasnya tidak bisa dijamin, terkadang cepat namun lebih banyak lambatnya. Kalaupun ada yang cepat, tentu saja harganya mahal, sangat tidak terjangkau secara personal.
Di negara-negara maju, internet sangat murah dengan kecepatan yang cukup tinggi. Di Singapura, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Eropa, kecepatan 2 Mbps termasuk “cupu”, harganya pun sangat terjangkau. Lantas kenapa internet di Indonesia cukup mahal?
Mahalnya internet di Indonesia tentu saja berhubungan dengan komponen biaya yang dibutuhkan untuk menggelar suatu layanan internet. Layanan internet di seluruh dunia dijalankan oleh perusahaan, ini artinya mereka tidak boleh rugi dan harus menghasilkan keuntungan. Komponen biaya yang dibutuhkan dalam menggelar layanan internet adalah sebagai berikut:
Biaya ini tidak sedikit, sebagai contoh adalah biaya pembangunan kabel optik adalah USD 7 per kilometer, lalu kalikan sekian kilometer area yang akan dijangkau. Dalam kasus Telkom, sudah ada tempat beserta tiang, tinggal menggantung saja. Jika jaringan yang baru bisa lebih dari USD 7 per kilometer. Sedangkan untuk pembangunan sebuah BTS atau pemancar telepon seluler yang juga digunakan untuk internet membutuhkan biaya paling tidak 1 milyar rupiah. Jangkauan atau coverage BTS rata-rata adalah 5-20 km, tergantung kepadatan pengguna serta topografi wilayahnya.
Ini dapat diibaratkan ketika anda terhubung dengan jaringan lokal di kantor dan internetnya dimatikan. Anda bisa mengakses komputer kantor, namun tidak bisa berinternet. Penyedia Jasa Internet harus “berlangganan” koneksi internasional supaya pelanggannya dapat membuka Facebook, Twitter dan lain-lain. Biaya ini bervariasi tergantung dari kesepakatan Penyedia Jasa Internet dengan uplink mereka. Yang pasti adalah biayanya tidak murah, per Mbps bisa lebih dari USD 100. Inilah salah satu alasan kenapa internet di negara-negara maju itu murah sekali karena servernya ada di negara mereka sendiri. Ibarat kata, di sebelah rumah, tinggal tarik kabel beres.
Tentu saja ini nilai yang sedikit mengingat SmartFren adalah operator yang “kecil”. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2010, PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom) membayar BHP tahun dengan nominal trilyunan rupiah. Contoh yang paling dekat adalah Telkomsel dan XL tahun ini, masing-masing harus membayar BHP frekuensi sebesar 500 milyar untuk up front fee dan 100 milyar untuk BHP tahunan. Nilai yang fantastis, bukan?
Biaya diatas adalah biaya pokok dari koneksi internet di Indonesia. Dari situlah harga internet ditentukan.
Jika anda menyewa internet kecepatan murni (dedicated), biayanya berkisar 2-10 juta rupiah per Mbps, tergantung dimana anda tinggal. Semakin sulit infrastrukturnya, semakin mahal anda harus membayar. Internet dengan kapasitas dedicated 1 Mbps di Yogyakarta tentu berbeda dengan di Wonosobo, apalagi di Jayapura.
Lantas yang jadi pertanyaan adalah, kenapa internet menggunakan 3G/EVDO seperti Smartfren, Esia Max-D, XL, Three, dan kawan-kawan bisa murah? Tentu saja karena internetnya tidak murni untuk anda. Tidak ada jaminan dari operator bahwa anda akan mendapatkan kecepatan internet sesuai dengan kemampuan modem (3,6 Mbps atau lebih).
Sistem sharing ini seperti yang digunakan pada perusahaan, laboratorium atau warnet dimana sebenarnya satu koneksi internet digunakan bersama-sama. Topologi jaringannya secara logical sama, hanya saja secara fisik berbeda. Jika jaringan yang anda pakai sedang sibuk, banyak yang pakai, ya tentu saja kecepatannya akan menurun. Maka dari itulah ada skema FUP (fair usage policy) dan kuota, tujuannya supaya semua orang mendapatkan hak yang setimpal dari uang yang dibayarkannya. Bagaimana menurut pendapat anda?
Dibawah ini adalah pendapat yang dikirimkan pembaca atas artikel ini. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara bebas, anda boleh menulis apa saja asal mampu mempertanggungjawabkannya. Kami menerima kritik dan saran namun tidak menerima caci maki. Hidup cuma sekali, jangan sia-siakan hanya untuk menyakiti hati orang lain.
Disclaimer: Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan Hanya Lewat. Redaksi berhak menyunting atau menghapus kata-kata yang berbau narsisme, promosi, spam, pelecehan, intimidasi dan kebencian terhadap suatu golongan.
Anda harus masuk untuk berpendapat.
ga juga broh. ane m3 bisa nyedot 925 KB/s atau 7,4 mbps. pada kondisi sinyal sangat full. artinya mreka benar ngasih speed. masalahnya, tiap kali koneksi, QoS berbeda. BTS dan modem/henpon akan meng established koneksi yg stabil, kebanyakan gara2 kurang sinyal, maka speed turun utk membuat koneksi yg bagus dan stabil.
artinya, kualitas BTS sangat dipertanyakan. harusnya power sinyal dari antena BTS mampu mengcover dengan baik, maupun terhalang tembok rumah.
sebagai contoh sederhana, router wireless (hotspot) murahan lawan yg merk bagus dgn antena omni berpower besar. yang murah pasti ga bs nembus tembok sinyalnya dan jadi suka putus2 tu koneksi wifi. sedangkan yg merk bagus, sinyal besar, bisa nembus tembok. koneksi lancar.
ane rasa, cukup dengan provider indo utk membenahi BTS masing2. kuatin kualitas serta power trasmitternya. 7 mbps dgn kuota sudah fair. gausah belagu mau maen di jaringan LTE segala.
salam super,
Orang IT doyan jaringan. hehehe
Share yang sangat bagus mas, namun sebenarnya tidak nyambung dengan artikel saya. 🙂 Saya membahas bagian hulu, anda membahas bagian hilir, bahasan saya tidak hanya pada seluler/nirkabel, tapi juga kabel. Definisi lambat yang saya kemukakan adalah rata-rata orang banyak, bukan per individu. Koneksi internet tidak merata antara satu pengguna dengan pengguna lain karena infrastruktur yang kurang baik, yang teknisnya seperti anda sebutkan diatas. Nah, infrastruktur itu hubungannya dengan biaya investasi. Mengenai power, itu ada aturannya, tidak boleh lebih dari sekian watt, jadi tidak bisa dinaikkan dengan ceroboh. Seperti halnya WiFi yang “sebenarnya” hanya boleh 100mW.
Btw, Konon katanya, investasi untuk 4G LTE itu lebih murah, dengan perhitungan per user. Itulah kenapa operator mengejar LTE. 🙂
Kepada bapak pimpinan teelekomunikasi.. mohon jangan buat program internet murah.. yg berbayar aja uda ngawur lemot lamban, pokoknya ga ada yg bisa dibanggakan..APALG TAR KALO MAU DIBUAT INTERNET MURAH.. ga bisa dibayangkan,, betapa menyedihkan…
Semoga kecepatan internet di Indonesia sedikit lebih baik.
Menurut saya data yang agan berikan belum begitu akurat, di beberapa daerah contohnya didaerah saya itu penarikan kabel hitungannya bukan 7 USD per kilometer. Lebih besar lagi dari itu.
1. tergantung dari kualitas kabel fiber, jumlah core, dan shieldingnya
2. per 100 meter untuk mendirikan 1 tiang fiber dibutuhkan Rp. 800 ribu rupiah
3. joint box per tiang
4. pungli dengan pemuda setempat/ormas
5. uang kerahiman camat/lurah setempat.
jadi kalau di estimasi bisa sekitar 10 jutaan per kilometer atau USD 740
Kak Andy yang cakep dan ganteng…
Ini yang kita bicarakan adalah TELKOM.
1. USD 7 itu asumsinya adalah selisih. Jadi semacam tukar tambah antara kabel tembaga ke fiber. Tau ga kalo per kilometer kabel tembaga lebih mahal dari fiber dengan core tertentu?
2. Per 100 meter tidak perlu tiang, TELKOM sudah punya.
3. Joint box? Tentu saja dibiayai dari penjualan kabel tembaga.
4 & 5. TELKOM tidak butuh ijin dari PEMDA/Ormas/Camat/Kelurahan untuk mengganti kabelnya.
See?
iya gan, internet ane juga lamban nieh..
maslahnya itu, duit ada tinggal mau ngutang apa ndak?
thanks atas infonya, Min.