Pemerkosaan bukan sebuah kejahatan baru. Kejahatan ini sudah terjadi semenjak adanya peradaban manusia. Sejumlah hukuman pun sudah diterapkan untuk membuat pelakunya jera.
Di Indonesia, perkosaan merujuk pada KUHP pasal 285-286, 289-295, 297-298 dengan hukuman penjara maksimal 12 (dua belas) tahun (pasal 285). Jika korbannya masih dibawah umur, digunakan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 59, 78, 81-82 dan 88 dengan hukuman maksimal 15 (lima belas) tahun dan minimal 3 (tiga) tahun (pasal 82). Wikipedia
Hukumannya sudah berat, kan? Tapi…
Ternyata hukuman ini tidak cukup membuat jera, apalagi preventif. Setiap saat kita mendengar kejahatan ini terus terulang. Dan lebih parahnya, semakin banyak yang menimpa anak-anak. Maka itu ada baiknya jika kita mencoba mencari hukuman lain yang lebih memiliki efek jera bagi yang melakukan dan membuat orang lain berpikir puluhan kali untuk melakukannya. Kalo saya mengusulkan seperti ini:
Di Amerika Serikat dan negera-negara Eropa, sudah diterapkan database penjahat seksual yang bisa diakses secara bebas. Tentu hak aksesnya berbeda antara penegak hukum dan publik, menghindari pelanggaran privasi. Cara ini paling efektif sebagai tindakan preventif dalam menghadap kemungkinan penjahat seksual kambuhan. Paling tidak, orang tua atau wanita di suatu daerah mendapatkan peringatan dini terhadap sosok orang baru di sekitarnya.
Di Indonesia, saya belum melihat sistem yang seperti ini diterapkan. Padahal ini sangat efektif untuk preventif. Meskipun begitu dapat dimaklumi, sumber daya kita, baik teknologi maupun manusia kita termasuk belum canggih, sehingga akan kesulitan dengan aksesnya. Mungkin di pulau Jawa tidak menjadi masalah, namun di pulau lain internet masih sulit. Sehingga kita bisa menempuh cara selanjutnya, yakni…
Mungkin ada yang masih ingat di era orde baru ada diskriminasi perbedaan warna KTP untuk pengikut PKI dan keluarganya. Kita bisa mencontohnya untuk alasan yang lebih baik, menandai penjahat seksual. Memang ini sangat diskriminatif, namun mengingat dampak dari perbuatan mereka, saya yakin ini layak untuk mereka. Dengan cara ini seseorang akan mudah diidentifikasi sebagai penjahat seksual saat mereka berpindah ke suatu tempat.
Bagaimana bisa itu terjadi? Tentu saja saat seseorang pindah, pasti lapor RT, kan? Disitu ketua RT pasti melihat identitasnya. Dengan begitu ketua RT bisa menjadi lebih waspada terhadap apa yang terjadi di lingkungannya. Penjahat seksual memiliki kecenderungan mengulangi perbuatannya, meskipun tidak selalu. Namun jika anda menganggap hukuman ini terlalu diskriminatif dan terlalu “publik”, saya masih punya satu lagi, yakni…
Seharusnya negara tak perlu repot memenjarakan pemerkosa, hanya akan menghabiskan uang rakyat saja. Mereka harus diberi makan 3x sehari, diberi baju, kalo sakit diobati. Maka dari itu lebih baik kita mencoba solusi yang satu ini, membuat shock terapy untuk mereka yang berniat menjadi pemerkosa. Cara untuk membuat orang tidak melakukan suatu perbuatan adalah menyita alat yang digunakan untuk berbuat kesalahan tersebut.
Kita tahu bahwa kemaluan a.k.a penis adalah alat bukti kejahatan pemerkosaan. Maka dari itu kita bisa menyitanya supaya orang tersebut tidak mengulangi lagi perbuatannya. Saya yakin satu orang saja yang diberlakukan hukuman seperti ini, para calon pemerkosa akan berpikir seribu kali. Pria yang tidak punya penis itu hidup segan namun mati tak mau. 🙂
Demikian adalah khayalan saya tentang bagaimana menghukum pemerkosa. Anda boleh setuju, boleh tidak, namanya juga khayalan. Namun jika ada yang mau mewujudkan, silahkan saja karena hanya pemerkosa atau orang yang berniat memperkosa saja yang takut. Jangan bicara HAM ya dalam masalah ini, pemerkosaan tetaplah pemerkosaan, apapun alasannya. Bagaimana menurut pendapat anda?
Disclaimer: Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan Hanya Lewat. Redaksi berhak menyunting atau menghapus kata-kata yang berbau narsisme, promosi, spam, pelecehan, intimidasi dan kebencian terhadap suatu golongan.
Anda harus masuk untuk berpendapat.