Membangun Indonesia. Dua buah kata yang terdengar ringan. Seperti misalnya “membangun rumah tangga”. Ringan kata-katanya, namun memerlukan pemikiran yang mendalam. Satu pertanyaan yang penting, harus mulai dari mana?
Jawabannya ada di ujung langit Pancasila. Bertuhan, beradab, bersatu, musyawarah dan keadilan. Terlihat mudah, bukan? Pada kenyataannya tidak. Selama lebih 70 tahun Indonesia merdeka, rasanya amanat Pancasila dan UUD masih jauh dari harapan, bahkan arah pembangunan tidak berada di jalan yang benar.
Ketika pilpres 2014, aku adalah orang yang pesimis. Bahwa Indonesia ya akan begitu-begitu aja. Saking pesimisnya, sampai pada kondisi enggan memilih alias golput. Toh, siapapun yang akan jadi presiden paling begitu-begitu aja. Ternyata anggapan ini salah besar. Tentunya setelah melihat fakta di pemerintahan sekarang dari tahun 2014 hingga saat ini.
Dulu gagasan membangun Indonesia dengan Pancasila itu terdengar utopis, terdengar terlalu indah untuk menjadi kenyataan dan membangkitkan pesimisme. Sekarang jika aku ditanya, bagaimana membangun Indonesia, aku sudah memiliki jawaban yang lebih realistis dan optimis. Bisa disebut realistis karena sudah ada yang melakukannya. Bisa dibilang, arah pembangunan pemerintahan saat ini arahnya sudah jelas dan lebih realistis daripada yang sebelum-sebelumnya.
Membangun keadilan, tentu saja dengan tidak memperlakukan semua wilayah di Indonesia dengan sama persis. Selama lebih dari 70 tahun, Jawa selalu menjadi pusat dari pembangunan. Paling mentok luar Jawa itu Bali dan Sumatera. Meskipun aku tinggal di Jawa, kadang merasa tidak enak juga melihat saudara-saudara kita yang berada di wilayah lain. Sekarang sudah tidak lagi seperti itu. Di era “rezim Jokowi”, Kalimantan, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara sudah “menjadi Indonesia”. Sedikit demi sedikit kesenjangan di Nusantara dikikis.
Pemerintahan saat ini mengerti betul, untuk membuat Indonesia bersatu, perut rakyat tidak boleh lapar. Oleh karena itu pemerintah berupaya untuk memenuhi kebutuhan dasar, yakni dengan cara:
Sebenarnya masih banyak langkah pemerintah untuk memangkas kesenjangan, namun cuma tiga itu yang sangat menarik perhatianku. Ketiga hal ini sangat berkaitan dengan “perut rakyat Indonesia”. Jalan & jembatan yang bagus, mengurangi biaya transportasi, harga barang bisa menjadi stabil dan rakyat bisa menabung. Listrik yang tersedia sepanjang waktu juga membuat warga di wilayah luar pulau Jawa dapat membuat pabrik yang membutuhkan listrik, misalnya tekstil, garmen dan teknologi informasi.
Percayalah, ini bukan kampanye. Ini bukan “menjilat rezim”. Ini adalah fakta yang dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Coba tanya saudara kita yang diluar Jawa, bagaimana hidup mereka saat ini, ketika jalan halus, ada jembatan, akses bahan bakar mudah dan murah? Apakah kehidupan mereka menjadi lebih baik? Apakah mereka semakin mencintai Indonesia? Apakah mereka masih membenci pemerintah?
Kita sadari bahwa pemerintah pun manusia. Pasti memiliki kesalahan. Meskipun tidak sempurna, aku lebih menghargai pemerintahan yang jelas arahnya. Jelas apa yang dikerjakannya. Dimana aku bisa melihat dan merasakan. Bagaimana birokrasi sekarang bekerja, terutama yang melayani masyarakat sudah menjadi lebih baik, meskipun belum sempurna. Bagaimana aku melakukan proses balik nama motor, misalnya. Sudah berbeda jauh dengan waktu-waktu yang lalu.
Percayalah, dulu aku adalah orang pesimis tentang Indonesia, saat ini aku adalah orang yang optimis tentang Indonesia. Jadi, bagaimana kamu? Apakah kamu masih pesimis? Cobalah sedikit buka mata, lihat kenyataan dan percayalah, Indonesia sekarang lebih baik.
Disclaimer: Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan Hanya Lewat. Redaksi berhak menyunting atau menghapus kata-kata yang berbau narsisme, promosi, spam, pelecehan, intimidasi dan kebencian terhadap suatu golongan.
Anda harus masuk untuk berpendapat.