Soal masak memasak memang menjadi hal yang pelik bagi sebagian keluarga. Meskipun sebenarnya ini adalah hal sederhana. Banyak wanita tidak terima ketika kemampuan memasak menjadi syarat kebahagiaan laki-laki, pun juga banyak lelaki yang tidak terima jika mereka diharuskan bisa memasak. Lalu sebaiknya bagaimana?
Dalam keluarga besarku, memasak bukan menjadi isu besar. Hampir semua anggota keluarga bisa memasak. Ibu mengajarkan kepada kami, semua anak-anaknya, baik lelaki maupun wanita, bahwa memasak adalah kemampuan dasar yang wajib dikuasai. Bagi keluarga kami, memasak adalah basic life skill. Bisa memasak meningkatkan kemampuan bertahan hidup lebih tinggi daripada hanya sekedar mengetahui tumbuhan mana yang bisa dimakan dan yang tidak.
Sayangnya tidak banyak keluarga yang mengajarkan demikian. Seringnya memasak dikategorikan sebagai kemampuan khusus dalam keluarga. Dan kemampuan tersebut ditumpukan kepada wanita. Bahkan muncul stigma negatif jika wanita tidak mau memasak. Seharusnya tidak demikian. Stigma ini hanya akan memunculkan perdebatan mengenai hak dan kewajiban. Padahal hak kewajiban yang dibahas adalah hak kewajiban yang sebenarnya tidak kaku mengikat.
Satu keluarga adalah tim, sehingga semua anggotanya memiliki hak dan kewajiban yang saling silang. Misalnya, seorang suami bertugas mencari nafkah. Jika suami berhalangan, misalnya sakit atau cacat tetap, tentu istri bisa mengambil alih kewajiban tersebut. Jika dianggap memasak adalah kewajiban istri, jika istri berhalangan, tentu suami harus mengambil alih kewajiban tersebut. Berhalangan tidak harus secara tetap, bisa temporer untuk kasus memasak. Misalnya istri yang tidak tidur karena mengurus anak bayi di malam hari, seharusnya seorang suami mengambil alih untuk menyiapkan sarapan. Itulah tim dalam keluarga.
Tunggu dulu, meskipun memasak sebenarnya “bukan kewajiban” istri, tetapi seorang wanita harus tetap bisa memasak. Tentu saja standar yang digunakan bukan standar chef bintang lima seperti chef Renatta atau chef Marinka. Standarnya untuk wanita bisa memasak adalah:
Sudah, cukup itu saja. Sisanya mudah untuk dikembangkan. Manfaat dari istri yang bisa memasak, yakni adalah melancarkan rejeki suami. Selain penghematan keuangan (banyak lho, masak vs beli, silahkan dihitung sendiri), juga ketenangan jiwa seorang suami. Pulang kerja dapat hadiah makanan di meja adalah anugrah yang tak terkira. Meskipun masakannya hanya sederhana seperti nasi, sayur dan lauk tempe. Jiwa lelaki yang tenang, membuatnya fokus bekerja, ditambah perut yang kenyang. 🙂
Dengan latar belakang diatas, ketika aku membangun rumah tangga, maka itu aku terapkan. Bukan hal yang tidak biasa kalau aku memasak untuk keluarga jika istri sedang tidak sehat atau alasan sesimpel “sedang tidak ingin memasak”. Selama bulan Ramadhan, istri tidak puasa karena menyusui, aku menyiapkan sahur sendiri. Untuk apa bangunin istri malam-malam hanya untuk menyiapkan makanan, sedangkan dia sendiri tidak puasa? Dan suami enak-enak goleran di tempat tidur, gitu? Bagiku itu dzalim. Kecuali kalau istri yang memang mau secara sukarela memasak untuk kita sahur. Itu beda cerita.
Dalam segi sarana dan prasarana, suami harusnya mengakomodasi apa yang dibutuhkan istri dalam memasak. Suami yang menuntut istrinya seperti chef Renatta, kalian sudah ngasi modal apa? Istri sudah kalian modali kursus memasak bintang lima? Peralatan di dapur sudah kelas Master Chef? Kalau kompor masih satu tungku, wajan dan panci aluminium sebiji, lalu kalian minta makanan seenak chef bintang lima, itu namanya TERLALU. Terima saja makanan yang ada, bersyukur, masih ada makanan di meja. Puji istri, maka dia akan terus belajar dan kemampuan memasak akan meningkat. Istrimu sedang menjaga hartamu, bro! Bantulan dia.
Mengurus rumah tangga bukanlah pekerjaan hina. Salah satunya memasak. Sebagian wanita ketika diharuskan bisa memasak lalu menjawab, “aku bukan babu” adalah respon yang tidak tepat. Istri memang bukan “babu” suami. Istri hidup bersama suami, dengan dasar saling mencintai satu sama lain. Suami memberikan nafkah karena mencintai istrinya. Demikian juga seharusnya seorang wanita memasak dan memberikan makanan sebagai wujud cinta kepada keluarganya. Dengan menyetarakan memasak = babu, maka sama saja mendegradasikan pengorbanan seorang ibu. Apakah kalian menganggap ibu-ibu kalian yang memasak makan untuk keluarga kalian adalah babu? Tidak, kan?
Lelaki juga kadang rada-rada kurang ajar. Mentang-mentang istrinya hanya dirumah saja, lalu ia lepas tangan. Bahkan menganggap bahwa pekerjaan rumah adalah tanggung jawab istri. Banyak suami yang tidak mau melakukan apa-apa di rumah. Sedangkan istri mencuci, membersihkan rumah, kamar mandi, memandikan anak, dan lain-lain. Sehingga ketika sampai waktu memasak, istri sudah capek. Masakannya kacau balau. Ketika suami makan, marah karena tidak enak. Sudah seperti tuan raja saja. Bukan perbuatan yang patut dipuji. Inilah yang ditakutkan para wanita, terutama yang belum menikah, maka dari itu muncul pernyataan “aku bukan babu”. Ya, kan?
Dalam keluarga, semua hal membutuhkan konvensi, kesepakatan yang dibicarakan secara komunikatif. Sebelum menikah, bicarakan dulu kesepakatan yang akan dijalan dalam membina rumah tangga. Rencana dan tujuan harus jelas. Lelaki sebagai pemimpin harus menyusun rencana, apa yang akan dilakukan 1, 5, 10 tahun ke depan. Istri, sebagai mitra suami, membantu keluarga dalam menjalankan rencana tersebut. Salah satunya dengan menyediakan makanan yang bergizi, terjangkau, halal dan baik. Masalah pelaksanaannya bagaimana, itu tergantung keluarga masing-masing. Hal terpenting dalam keluarga adalah tidak ada yang dizhalimi, baik secara lahir maupun batin.
Dibawah ini adalah pendapat yang dikirimkan pembaca atas artikel ini. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara bebas, anda boleh menulis apa saja asal mampu mempertanggungjawabkannya. Kami menerima kritik dan saran namun tidak menerima caci maki. Hidup cuma sekali, jangan sia-siakan hanya untuk menyakiti hati orang lain.
Disclaimer: Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan Hanya Lewat. Redaksi berhak menyunting atau menghapus kata-kata yang berbau narsisme, promosi, spam, pelecehan, intimidasi dan kebencian terhadap suatu golongan.
Anda harus masuk untuk berpendapat.
Setuju banget, mas. Mungkin ada istilah “istri bukan babu” ya gara-gara adanya fenomena itu. Istri capek-capek ngurus rumah tangga, eh suami cuma bisa maido gara-gara masakan istrinya rasanya ada yang kurang. Dan itu adalah yang ditakutkan sama para perempuan di luar sana yang belum menikah. Zaman sekarang kan banyak perempuan yang mengejar pendidikan tinggi, waktu selesai sekolah/kuliah pun langsung ikut kegiatan organisasi, belum lagi setelah lulus langsung kerja, kerja banyak lembur pulang malam, jadi sangat memungkinkan skill memasak mereka kurang. Kalaupun bisa mungkin hanya bisa goreng-goreng, masak nasi, dan masak mi instan. Jadi sangat melukai hati kalau ada lelaki yang belum apa-apa sudah menuntutnya harus bisa masak, kalau ternyata si perempuan gak bisa masak malah dicap pemalas dan cuma minta nafkah doang, apalagi sampai melecehkan kaum perempuan seperti kejadian di Twitter beberapa waktu lalu. ðŸ˜
Aku juga setuju kalau menikah itu dijalani oleh dua orang untuk membangun keluarga yang sakinah mawadah warahmah. Jadi semuanya harus didasarkan dari saling pengertian, saling kerja sama, saling menyayangi, bukan malah saling menuntut. Duh, pasti gak nyaman kalau rumah tangga cuma dipenuhi dengan tuntutan doang. Itu rumah tangga atau pengadilan, kok penuh tuntutan.😄
Betul. Namanya manusia tidak sempurna, tapi manusia bisa belajar. Istri tidak bisa memasak, ya dibimbing. Belajar masak bareng. Malah makin tercipta chemistry, makin sayang satu sama lain. 🙂
Nahhh ini bener banget, dalam sebuah keluarga memang harus saling melengkapi satu sama lain..Tidak harus menjadi ahli untuk bisa membangun keluarga yang bahagia, tapi dengan melengkapi berbagai kekurangan baik di istri ataupun suami malah keluarga itu jadi lebih istimewa.. Kalau istri sedang tidak ingin memasak, para suami bisa memasak untuk istrinya, dan sebaliknya. Kadang dirumah juga kalo papa mama gak masak, terus aku laper gak ada makanan ya aku masak sendiri, walaupun masakannya tidak seenak yang papa mama bikin.
Semua nya memang gak bisa dipaksakan, tergantung bagaimana kita menyikapinya..
Iya, tidak ada manusia yang sempurna, pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Seharusnya saling mengisi. Semoga kita semua terus begitu dalam rumah tangga. 🙂